Minggu, 07 Oktober 2012

CERPEN 3 (TULISAN)



Kumpulan Cerpen Seru : In My Dream | Bagian Pertama ~ Bagi kalian yang belum pernah baca nih cerpen, langsung aja deh baca cerpen ini, seru lohh ^_^.

"Nit, kita duluan ya.." aku hanya mengangguk sambil mengembangkan senyum seikhlas mungkin saat teman temanku melambai meninggalkanku seorang diri dikelas. Yah..harusnya aku juga ikut pulang bersama mereka, tapi karena tugas pemberian wali kelas ini. Aku harus berada dikelas lebih lama. Selembar demi selembar data data tentang siswa kelas ini kuperiksa. Sebagai sekretaris kelas aku harus rela menerima tugas ini.

"huah..selesai.." ucapku lega. Sekarang tinggal membawa tumpukan kertas ini kekantor TU.

Aku melangkah pelan menuju kantor TU yang terletak diujung sana. Aku belum pernah kesini sebelumnya.

BRUK!!


Sial,kertas kertasku berjatuhan,aku sendiri jatuh terduduk dilantai. Siapa sih yang menabrakku.

"maaf ya..kamu nggak apa apa?" suara lembut itu terdengar cemas. Aku mengangkat wajahku untuk melihat siapa orang itu. Ternyata seorang cowok. Ya ampun..dia sangat tampan.tersenyum manis dengan sebelah lesung pipit yang sangat menawan. Bayangkan siwon suju. Ya ampun.. Aku tercengang menatapnya yang kini sibuk menyusun kertas kertasku yang berceceran.

"hey.." tegurnya yang mungkin risih kupandangi begini. Aku langsung terkesiap lalu berdiri sambil merapikan seragamku.

"m-makasih.."ucapku canggung sambil menerima sodoran kertas ditangannya. Ia hanya tersenyum.

"tolonglah jangan senyum lagi..aku bisa meleleh.." rengekku dalam hati.

"kamu mau kemana?"tanyanya.

"kantor TU" singkatku.

"oh..um, oh iya..kenalin aku Raka.."katanya memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya. Aku memang belum pernah melihat dia selama 2tahun sekolah disini. Kujabat tangannya ragu ragu.

"Nita.."sebutku pendek. Ia tersenyum lagi kemudian melangkah melewatiku. Aku masih memandang punggungnya yang kian menjauh. Aku rasa aku..ah,tidak boleh. Cinta pada pandangan pertama itu tidak ada.

Kulanjutkan lagi langkahku menuju TU. Walaupun pikiranku masih melayang terus padanya.
***
aku sudah selesai dengan tugasku, kini saatnya pulang..sebelumnya aku harus balik kekelas untuk mengambil tas. Saat aku mengemasi tasku, aku mendengar nyanyian!

Sumber referensi : https://www.facebook.com/note.php?note_id=200336300050490

Bersambung.....

CERPEN 2 (TULISAN)



SAAT SAAT YANG INDAH
Karya Nurul Aini Eriton

Malam tahun baru yang berbeda ,lebih indah dari tahun-tahun sebelum nya,
Jangkrik bernyanyi riang dan bintang yang setia menemani malam.
Aku bersama kekasihku Rangga duduk bersenda gurau di bawah pohon yang rindang. setelah lelah bersenda gurau aku dan rangga terdiam sejenak,
Rangga mengelus-ngelus rambutku dan mencium keningku, aku tersenyum.

Rangga menatap wajahku tanpa berkedip, ” rangga kenapa ? kok natap aku serius banget ? wajahku ada yang aneh ya ? “ tanyaku mengejutkan rangga.
“ haaa ??? ngga kok, mungkin Cuma malam ini aku bisa menatap wajahmu.“ jawab rangga. “ iih, kenapa ? kamu kok ngomong gitu ? “
Aku tercengang mendengar jawaban rangga. “ nggak, ngga ada. “
Rangga mmelukku dan berkata “aku sayang kamu”
Tingkah laku rangga aneh ,perasaan ku menjadi tidak enak.
Setelah sejenak terdiam ,rangga kembali membuatku tertawa ,dan akhirnya kami kembali bersenda gurau.

Aku kelelahan ,dan berbaring di pangkuan rangga ,tiba-tiba rangga kembali bersikap aneh. “ anggi ,kamu dengar baik-baik ya ,kamu selalu di hatiku sampai aku mati. “ rangga mengelus rambutku “ makasih ,kamu juga akan selalu ada di hati aku. “ dengan wajah bingung aku merespon perkataan rangga. “ hem ,mau aku nyanyiin lagu favorite mu ? “
“ waah ,boleh-boleh. “ aku semakin bersemangat ,karna terlalu menghayati dan juga kelelahan aku tertidur di pangkuan rangga.
Di dalam tidurku aku bermimpi, mimpi yang aneh.
Tengah malam rangga datang ke rumahku ,mengembalikan barang-barang yang pernah aku berikan padanya ,mencium keningku ,dan bergegas pergi ntah kemana. Aku mencoba mengejarnya namun ketinggalan jejak,
Yang lebih aneh nya rangga mengenakan pakaian serba putih ,padahal aku tau persis Rangga benci warna putih. Aku berlari ke rumah rangga ,namun tiba-tiba kakiku tersandung batu dan terjatuh. aku bersentak dan bangun dari tidurku, aku melihat rangga yang juga ketiduran. Aku membaringkan rangga di pangkuan ku ,ketika aku ingin memejamkan mata aku teringat mimpi aneh itu ,apa sebenarnya arti dari minpi itu ? perasaan ku semakin tidak enak tetapi mencoba untuk tenang.
Karna terus memikirkan mimpi itu ,mataku tak dapat terpejam lagi ,hingga waktu menunjukkan pukul 05.00 pagi.
Sebentar lagi matahari akan terbit, aku pun segera membangunkan rangga.

Namun rangga tidak juga bangun ,aku mencoba lagi tetap saja rangga tidak bangun. Aku menelpon teman-teman ku ,yang kebetulan tengah bersama dengan teman-teman rangga. Lima menit kemudian mereka sampai di tempatku. “ ada apa anggi ? “ Tanya rara salah satu temanku “ antarin aku pulang !! “ aku menjawab nya dengan wajah kesal. “ lah ,itu rangga masih tidur ,masa mau di tinggalin ? “
“ ahh biar aja ,aku kesal berulang kali aku bangunin tapi ngga bangun-bangun “ jawabku dengan wajah semakin kesal. “ haa ?? masa sih ,perasaan rangga sekali di bangunin langsung bangun. “ Potog Roni salah satu teman dekat rangga . “ iyaa biasa nya kayak gitu ,tapi coba aja kalian bangunin kalau bisa ! “ Mereka pun mencoba membangunkan rangga ,tetapi tetap saja rangga tidak bangun.

Tiba-tiba aku di tarik ke tempat rangga ,dan di perintahkan untuk benar-benar memperhatikan Rangga. Setelah aku perhatikan ,wajah rangga terlihat pucat dan saat ku sentuh tubuh nya terasa dingin. “ anggi ! seharian kamu sama dia ,tapi kamu ngga tau apa-apa malah marah-marah !! “ ungkap Roni. “ emang rangga kenapa ? aku ngga tau ! “ perasaan ku mulai tidak enak lagi. Mereka semua terdiam dan menunduk. “ kenapa kalian diam ? rangga kenapa ?“ Tanya ku penasaran. Rara memelukku dan membisikan kata sabar di telingaku.
“ sebenarnya ada apa sih ? “ aku kembali bertanya dengan nada tinggi dan mencoba membangunkan rangga ,namun rangga tidak juga bangun.
“ anggi ,percuma kamu bangunin rangga ,karna rangga ngga akan bangun “ ungkap roni dengan mengeluarkan air mata. “ maksud kamu apa ? “
Aku ngga ngerti. “ mereka membuatku bingung. “ rangga ,nggi … rangga …. Rangga ,rangga udah ngga ada ,dia udah ninggalin kita semua “

Ujar rara dengan muka sedih dan juga mengeluarkan air mata.
“ ngga .. ngga mungkin ,rangga tuh udah janji ngga akan tinggalin aku ,kalian bercanda ya kaan ? “ Tanya ku tak percaya. “ ngga nggi .. kami ngga bercanda ! “ ungkap rara memelukku. “ ngga .. aku ngga percaya .. “ karna aku belum bisa menerima ini semua, aku tidak sadarkan diri dan aku di bawa ke rumah rangga oleh teman-temanku.
Satu jam aku tidak sadarkan diri ,selama aku tidak sadarkan diri rangga hadir di dalam mimpiku ,saat itu dia berkata “ anggi … aku minta maap ,aku harus pergi tinggalkan kamu ,sebenarnya aku tak ingin ini semua terjadi tapi takdir berkata lain ,walaupun aku ngga ada di samping mu ,tapi aku selalu ada di hatimu ,cobalah menerima kenyataan ini nggi,dan aku harap setelah ini terjadi kamu tetap semangat dan ceria seperti dulu ,karna aku tak akan tenang kalau meninggalkan mu dalam keadaan sedih. Saat-saat indah yang pernah aku lalui bersamamu akan selalu ku ingat dan ku kenang ,aku sayang kamu nggi.”

Rangga pergi ,aku mengejar nya tetapi kehilangan jejak,aku pun terbangun setelah satu jam tidak sadarkan diri ,ketika aku keluar kamar aku melihat banyak orang yang melantunkan surat yasin dan aku melihat seseorang yang tengah terbaring lemah dengan di selimuti kain putih. Saat ku membuka kain putih itu ,aku melihat rangga dengan wajah nya yang pucat, aku tak kuasa menahan tangis ,orang tua ku dan orang tua rangga mencoba menenangkan ku ,dan aku pun teringat pesan terakhir yang di berikan rangga ,perlahan aku mulai mengikhlaskan kepergian rangga.
Dan aku berjanji ,aku tak akan melupakan saat-saat indah yang aku lalui bersama nya ,walaupun suatu saat Allah SWT memberiku pengganti nya ..
Selamat tinggal masa lalu ,akan ku kenang masa-masa indah mu.

Selesai :)


DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2012/10/cerpen-sedih-saat-saat-yang-indah.html#ixzz28gXC13YH

CERPEN 1 (TULISAN)


Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

PUISI 3 (TULISAN)


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954


PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

PUISI 2 (TULISAN)


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

PUISI (tulisan)


Kumpulan Puisi Chairil Anwar

Aku

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 Maret 1943 

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang

sistem informasi manajement 1 (ARTIKEL PRIBADI)



KESADARAN ROHANI
=========================oOo=======================
Bismillahirrohmaanirrohiim
Sekian lama kuberjalan tertatih tatih jatuh bangun babak belur berjuang menata laku meniiti kepahaman atas diri demi ingin mengenal, menuju dan mencintainya, berharap akan ridhonya semata.
Dalam kelelahan aku bersandar pada pohon lamunan dibawah ranting ranting pemahaman menatap ranum buah kesadaran, Maka jadilah tulisan ringan tanpa bobot namun insya Allah bermanfaat bagi pejalan ruhani pemula seperti saya ini
Kesadaran Rohani merupakan bentuk kesadaran tertinggi dimana gerak dan diam disetiap kedipan mata, tarikan,hembusan napas dan detak jantung ntu karena ruh dari dan yg akan kembali kepadanya pula. Terjaganya kesadaran Rohani yg demikian terus menerus insya Allah secara bertahap akan melahirkan kesadaran kesadaran baru dalam bentuk ikhlas, tawaqal, sabar, syukur dll bentuk ketaatan dan sifat sifat terpuji.
Untuk menjaga kesadaran Ruhani tersebut maka selalu berzikir disetiap kedipan mata, tarikan napas, hembusan napas dan detak jantung kita ketika duduk, berdiri, berjalan dan berbaring merupakan perintah yang wajib bagi umat islam, terutama dalam menjalankan perintah SHOLAT yang menjadi induknya bagi semua ibadah sebagaimana perintah ALLAH :”….wa aqiimi sholata li dzikri”
Sekedar menyamakan persepsi bahwa zikir itu berbeda dengan wirid, wirid (mengulang ulang suatu bacaan tertentu dengan cara tertentu) merupakan salah satu jalan atau metode mencapai zikir (ingat).
Memahami zikir secara sederhana adalah
1. mengingat perintaNya untuk dijalani,
2. mengingat laranganNya untuk dihindari,
3. mengingat ujianNya untuk disabari dan
4. mengingat nikmatNya untuk disyukuri.

Lebih dalam lagi, berzikir adalah menyatukan cipta, rasa dan karsa dalam qudrat dan irodatNya.

Kesadaran ruhani itu lebih pada merasakan (menyaksikan dengan rasa – rahsa – rahasianya) bahwa diri dalam segala aktifitasnya selalu sadar dalam liputan asma sifat dan af’alnya, menyandarkan sababiyyah perbuatan manusia karena perbuatan (af’al) nya, bukanlah perbuatan manusia yang menjadi sababiyyahnya, jadi ketika manusia berzikir sesungguhnya telah didahului oleh zikirnya ALLAH kepada manusia, amal ibadah manusia didahului oleh anugerahNya kepada manusia yang menjadi sababiyyah manusia tersebut bisa beribadah.
Zikir dengan penuh kesadaran ruhani akan berbuah cahaya keyaqinan mengendap pada diri dalam ketenangan dan kestabilan jiwa, menjadikan ia tahan uji dan tahan banting tiada rasa takut baginya karena cahaya keyaqinan senantiasa menyiram akar akar jiwanya menumbuhkan kesadaran demi kesadaran baru (Mahabbatullah) yang kian kokoh dan kuat mengikat jiwanya yang hanya mau terikat kepada sang khaliq semata, jadilah ia pantulan bagi cahayanya lalu memancar pada jagad dirinya menembus dan menebar keluar dari dirinya menerangi alam sekitarnya, FainsyaAllah inilah yang dimaksud dalam quran “ahli zikir bagaikan cahaya berjalan diantara umat manusia”
Kesadaran yang demikian sudah barang tentu akan menghindarkan atau paling tidak akan mengikis secara bertahap manusia dari rasa peng”aku”an (ego) yang selalu jadi hijab bagi diri untuk bertemu dengannya. Namun dengan terkikis dan hilangnya rasa memiliki, dan rasa takut kehilangan (nb : didominasi oleh) “aku” justru akan melahirkan perilaku terpuji (al : tawadlu, ikhlas, tawaqal, syukur dan sabar) serta mensifati dirinya sebagai hamba yang faqir, hina, bodoh dan lemah tiada daya dan upaya dihadapan sang Khaliq, benarlah apa yang dikatakan para sesepuh bahwa “Bisa merasa tapi tidak merasa bisa”
Dus perilaku dan sifat demikian akan menggiringnya pada maqom yang terpuji (muhammad) dan suri tauladan bagi hamba hamba lainya. Subhanallah…
Diri berharap semoga diperjalankan sebagai hamba yang dikehendaki menjadi bagian dari hamba hambanya yang senantiasa dianugerahi kesadarah ruhani dan jalan istiqomah menuju dan mendapatkan ridhonya. Amiin
Atas koreksi dan tambahannya serta kepada banyak saudaraku seperjalanan yang telah telaten membimbingku tak terhitung diri mengucapkan terimakasih. Jazakumullah
Wassalamualaikum.Wr.Wb